Kasus Mulyana W Kusuma
detikNews | Rabu, 20 April 2005 | 21.43 WIB
Kasus ini terjadi sekitar tahun
2004. Mulyana W Kusuma sebagai seorang anggota KPU diduga menyuap anggota BPK
yang saat itu akan melakukan audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic
pemilu. Logistic untuk pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara,
amplop suara, tinta, dan teknologi informasi. Setelah dilakukan pemeriksaan,
badan dan BPK meminta dilakukan penyempurnaan laporan. Setelah dilakukan
penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa laporan tersebut lebih baik daripada
sebelumnya, kecuali untuk teknologi informasi. Untuk itu, maka disepakati bahwa
laporan akan diperiksa kembali satu bulan setelahnya.
Setelah lewat satu bulan,
ternyata laporan tersebut belum selesai dan disepakati pemberian waktu
tambahan. Di saat inilah terdengar kabar penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana
ditangkap karena dituduh hendak melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor
BPK, yakni Salman Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK
bekerja sama dengan auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama
dengan KPK memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan
alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka.
Penangkapan ini menimbulkan pro
dan kontra. Salah satu pihak berpendapat auditor yang bersangkutan, yakni
Salman telah berjasa mengungkap kasus ini, sedangkan pihak lain berpendapat
bahwa Salman tidak seharusnya melakukan perbuatan tersebut karena hal tersebut
telah melanggar kode etik akuntan.
Solusi:
Dalam konteks kasus Mulyana W
Kusuma, dapat dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga
(auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak
etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau
pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana
terjadi pada kasus Mulyana W Kusuma, walaupun dengan tujuan ‘mulia’, yaitu
untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU. Dari sudut
pandang etika profesi, auditor tampak tidak bertanggungjawab, yaitu dengan
menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya. Auditor juga
tidak punya integritas ketika dalam benaknya sudah ada pemihakan pada salah
satu pihak, yaitu pemberi kerja dengan berkesimpulan bahwa telah terjadi
korupsi.
Dari sisi independensi dan
objektivitas, auditor BPK sangat pantas diragukan. Berdasar pada prinsip
hati-hati, auditor BPK telah secara serampangan menjalankan profesinya. Sebagai seorang auditor BPK seharusnya yang
dilakukan adalah bahwa dengan standar teknik dan prosedur pemeriksaan, auditor
BPK harus bisa secara cermat, objektif, dan benar mengungkapkan bagaimana
aliran dana tersebut masuk ke KPU dan bagaimana dana tersebut dikeluarkan atau
dibelanjakan. Dengan teknik dan prosedur yang juga telah diatur dalam profesi
akuntan, pasti akan terungkap hal-hal negatif, termasuk dugaan korupsi kalau
memang terjadi.
Tampak sekali bahwa auditor BPK
tidak percaya terhadap kemampuan profesionalnya, sehingga dia menganggap untuk
mengungkap kebenaran bisa dilakukan segala macam cara, termasuk cara-cara tidak
etis, sekaligus tidak moralis sebagaimana telah terjadi, yaitu dengan jebakan.
Dalam kasus ini kembali lagi
kepada tanggung jawab moral seorang auditor di seluruh Indonesia, termasuk dari
BPK harus sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa betapa berat memegang
amanah dari rakyat untuk meyakinkan bahwa dana atau uang dari rakyat yang
dikelola berbagai pihak telah digunakan sebagaimana mestinya secara benar,
akuntabel, dan transparan, maka semakin lengkap usaha untuk memberantas korupsi
di negeri ini.
Sumbernya :
0 komentar:
Posting Komentar