1.
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN INDONESIA
Utang luar negeri atau
pinjaman luar negeri adalah sebagian dari total utang suatu Negara yang
diperoleh dari para kreditor di luar Negara tersebut. Penerima utang luar negeri
dapat berupa pemerintah, perusahaan, maupun perorangan. Bentuk utang dapat
berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintahan Negara lain, atau
lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia.
A. Sumber-sumber pembiayaan Pembangunan Indonesia
Sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan di Indonesia antara lain berasal dari Dana Perimbangan yang diterima oleh Indonesia terutama daerah Khusus Ibukota dari modal asing. Beberapa daerah yang kaya sumber daya alam seperti Aceh, Riau, Kaltim, dan Papua akan dapat menggunakan Dana Bagi Hasil untuk membiayai belanja pembangunannya sedangkan bagi daerah-daerah miskin dan tidak memiliki SDA, belanja pembangunannya masih akan tergantung pada jumlah DAU dan DAK yang diterima pada tahun anggaran tertentu.
Dalam tahun anggaran 2001 sekitar 80% dari jumlah DAU digunakan untuk membayar gaji pegawai daerah, bagian DAU untuk belanja pembangunan relative kecil sekali jumlahnya, sehingga diperlukan alternative sumber pembiayaan pembangunan.
B. Modal Asing dalam Pembangunan
Sumber dana eksternal dapat dimanfaatkan untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat perlu diikuti oleh perbankan struktur produksi dan perdagangan. Modal asing dapat berperan penting dalam mobilisasi dana maupun transformasi struktural. Kebutuhan akan modal asing menjadi menurun segera setelah perubahan struktur benar-benar terjadi.
Asumsi dasar yang melatar belakangi hubungan positif antara modal asing dan pertumbuhan ekonomi :
A. Sumber-sumber pembiayaan Pembangunan Indonesia
Sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan di Indonesia antara lain berasal dari Dana Perimbangan yang diterima oleh Indonesia terutama daerah Khusus Ibukota dari modal asing. Beberapa daerah yang kaya sumber daya alam seperti Aceh, Riau, Kaltim, dan Papua akan dapat menggunakan Dana Bagi Hasil untuk membiayai belanja pembangunannya sedangkan bagi daerah-daerah miskin dan tidak memiliki SDA, belanja pembangunannya masih akan tergantung pada jumlah DAU dan DAK yang diterima pada tahun anggaran tertentu.
Dalam tahun anggaran 2001 sekitar 80% dari jumlah DAU digunakan untuk membayar gaji pegawai daerah, bagian DAU untuk belanja pembangunan relative kecil sekali jumlahnya, sehingga diperlukan alternative sumber pembiayaan pembangunan.
B. Modal Asing dalam Pembangunan
Sumber dana eksternal dapat dimanfaatkan untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat perlu diikuti oleh perbankan struktur produksi dan perdagangan. Modal asing dapat berperan penting dalam mobilisasi dana maupun transformasi struktural. Kebutuhan akan modal asing menjadi menurun segera setelah perubahan struktur benar-benar terjadi.
Asumsi dasar yang melatar belakangi hubungan positif antara modal asing dan pertumbuhan ekonomi :
a.
Setiap 1$ modal asing akan mengakibatkan kenaikan 1$ impor dan
investasi.
b.
Dengan asumsi ini dan ICOR yang stabil dimungkinkan untuk
menghitung dampak
modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi atau sebaliknya menghitung berapa modal asing yang diperlukan untuk mencapai target pertumbuhan tertentu.
modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi atau sebaliknya menghitung berapa modal asing yang diperlukan untuk mencapai target pertumbuhan tertentu.
C. Motivasi Negara Donor
Hutang luar negeri yang disalurkan oleh Negara maju ke Negara yang sedang berkembang dan atau Negara miskin tidak dilakukan atas dasar kemanusiaan, tetapi di lakukan atas dasar motivasi ekonomi dan bahkan politik. Hutang luar negeri tidak akan disalurkan tanpa adanya keuntungan yang diperoleh Negara pemberi hutang. Jika pinjaman tidak direncanakan secara matang dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan, tidak dialokasikan secara tepat sasaran dan tidak dimanfaatkan secara efisien, maka utang luat negeri akan dapat menimbulkan masalah besar dan bahkan menyebabkan fiscal unsustainable. Sejalan dengan amanat BUMN tahun 1999 bahwa Indonesia harus meningkatkan kemampuan pengelolaan dana pinjaman luar negeri dengan tujuan akhir yaitu mencapai kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu, manajemen utang luar negeri harus diperbaiki bahkan diubah untuk meningkatkan optimalisasi pemanfaatannya dan dikontrol sampai pada level yang aman.
D. Struktur Pembiayaan Pembangunan
Di saat Orde Baru berkuasa banyak utang luar negeri dibuat dengan dalih untuk membangun BUMN. Bantuan ini telah menginjeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan cara menutup devicit anggaran pembangunan dan devicit neraca pembayaran. Tak dapat dipungkiri bahwa bantuan luar negeri telah berfungsi sebagai injeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan cara menutup devisit anggaran pembangunan dan devisit neraca pembayaran. Menunjukkan struktur pembiayaan pembangunan dimana peranan bantuan luar negeri pernah mencapai Iebih dari 50% pada Pelita I dan IV. Kendati peranan bantuan luar negeri semakin menurun pada tahun-tahun terakhir ini, persentasenya masih di atas 35%. Bahwa bantuan luar negeri di Indonesia telah berperanan penting dalam menutu devisit anggaran dan devisit transaksi berjalan kiranya tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dapat dikatakan dengan injeksi bantuan ini Indonesia telah dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonominya. Kesimpulan sementara, Indonesia mengalami fenomena debt-led growth. Sepanjang bantuan tersebut efektif dan tidak menjadi beban nampaknya ataupun tidak ada yang mempermasalahkannya. Namun pada damawarsa 1980-an, agaknya cicilan pokok pinjaman harus mulai dibayar karena sudah jatuh tempo. Akibatnya, sejak tahun fiskal 1987/1988 total cicilan utang berikut bunganya menjadi lebih besar dibanding pinjaman baru setiap tahunnya. Hal inilah yang banyak dituding oleh para pengamat sebagai net resource transfers yang negatif. Ini belum termasuk pelarian modal ke luar negeri.
Sebuah penelitian memperkirakan nilai pelarian modal dari Indonesia secara akumulatif dari 1970-1987 mencapai US$ 11 milyar, atau kurang lebih sekitar sepertiga nilai utang luar negeri pada akhir 1987 (Mahyuddin, 1989). Bagi Indonesia, bayang-bayang krisis bantuan luar negeri bukannya tidak ada. Namun, dibanding negara-negara Amerika Latin dan Afrika, memang kondisi beban utang Indonesia masih relatif lebih ringan. Kendati debt service ratio (DSR), perbandingan antara pembayaran bunga dan cicilan utang, berkisar antara 25,4% hingga 40,7% selama 1985-1989, Indonesia agaknya tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin yang beban pembayaran utangnya melebihi penerimaan ekspor mereka. Jumlah utang yang meningkat selama tiga tahun terakhir sampai 1990 disebabkan oleh kebutuhan untuk mendapatkan pinjaman baru dan karena perubahan nilai tukar dollar AS terhadap Yen dan Mark Jerman sedangkan meningkatnya DSR karena sudah banyak utang yang jatuh tempo, anjloknya harga minyak bumf dan komoditi primer lain, serta currency realignment (Djojohadikusumo, 1990).
Hutang luar negeri yang disalurkan oleh Negara maju ke Negara yang sedang berkembang dan atau Negara miskin tidak dilakukan atas dasar kemanusiaan, tetapi di lakukan atas dasar motivasi ekonomi dan bahkan politik. Hutang luar negeri tidak akan disalurkan tanpa adanya keuntungan yang diperoleh Negara pemberi hutang. Jika pinjaman tidak direncanakan secara matang dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan, tidak dialokasikan secara tepat sasaran dan tidak dimanfaatkan secara efisien, maka utang luat negeri akan dapat menimbulkan masalah besar dan bahkan menyebabkan fiscal unsustainable. Sejalan dengan amanat BUMN tahun 1999 bahwa Indonesia harus meningkatkan kemampuan pengelolaan dana pinjaman luar negeri dengan tujuan akhir yaitu mencapai kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu, manajemen utang luar negeri harus diperbaiki bahkan diubah untuk meningkatkan optimalisasi pemanfaatannya dan dikontrol sampai pada level yang aman.
D. Struktur Pembiayaan Pembangunan
Di saat Orde Baru berkuasa banyak utang luar negeri dibuat dengan dalih untuk membangun BUMN. Bantuan ini telah menginjeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan cara menutup devicit anggaran pembangunan dan devicit neraca pembayaran. Tak dapat dipungkiri bahwa bantuan luar negeri telah berfungsi sebagai injeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan cara menutup devisit anggaran pembangunan dan devisit neraca pembayaran. Menunjukkan struktur pembiayaan pembangunan dimana peranan bantuan luar negeri pernah mencapai Iebih dari 50% pada Pelita I dan IV. Kendati peranan bantuan luar negeri semakin menurun pada tahun-tahun terakhir ini, persentasenya masih di atas 35%. Bahwa bantuan luar negeri di Indonesia telah berperanan penting dalam menutu devisit anggaran dan devisit transaksi berjalan kiranya tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dapat dikatakan dengan injeksi bantuan ini Indonesia telah dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonominya. Kesimpulan sementara, Indonesia mengalami fenomena debt-led growth. Sepanjang bantuan tersebut efektif dan tidak menjadi beban nampaknya ataupun tidak ada yang mempermasalahkannya. Namun pada damawarsa 1980-an, agaknya cicilan pokok pinjaman harus mulai dibayar karena sudah jatuh tempo. Akibatnya, sejak tahun fiskal 1987/1988 total cicilan utang berikut bunganya menjadi lebih besar dibanding pinjaman baru setiap tahunnya. Hal inilah yang banyak dituding oleh para pengamat sebagai net resource transfers yang negatif. Ini belum termasuk pelarian modal ke luar negeri.
Sebuah penelitian memperkirakan nilai pelarian modal dari Indonesia secara akumulatif dari 1970-1987 mencapai US$ 11 milyar, atau kurang lebih sekitar sepertiga nilai utang luar negeri pada akhir 1987 (Mahyuddin, 1989). Bagi Indonesia, bayang-bayang krisis bantuan luar negeri bukannya tidak ada. Namun, dibanding negara-negara Amerika Latin dan Afrika, memang kondisi beban utang Indonesia masih relatif lebih ringan. Kendati debt service ratio (DSR), perbandingan antara pembayaran bunga dan cicilan utang, berkisar antara 25,4% hingga 40,7% selama 1985-1989, Indonesia agaknya tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin yang beban pembayaran utangnya melebihi penerimaan ekspor mereka. Jumlah utang yang meningkat selama tiga tahun terakhir sampai 1990 disebabkan oleh kebutuhan untuk mendapatkan pinjaman baru dan karena perubahan nilai tukar dollar AS terhadap Yen dan Mark Jerman sedangkan meningkatnya DSR karena sudah banyak utang yang jatuh tempo, anjloknya harga minyak bumf dan komoditi primer lain, serta currency realignment (Djojohadikusumo, 1990).
Refrerensi ::
0 komentar:
Posting Komentar